Beranda | Artikel
Faidah Surah Al-Qashash Ayat 26: Kriteria Pekerja (Karyawan) Ideal Menurut Syariat
23 jam lalu

Manusia adalah makhluk sosial. Ia tidak bisa hidup sendirian, meskipun ia memiliki harta melimpah dan kekuasaan yang besar. Dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam pekerjaan, seseorang saling membutuhkan satu dengan yang lainnya.

Dalam dunia kerja, tidak sedikit usaha atau bisnis yang runtuh, bukan karena kekurangan modal atau strategi yang kurang handal, tetapi karena kesalahan dalam memilih orang yang dipercaya untuk bekerja bersama. Betapa banyak perusahaan yang bangkrut karena karyawan yang tidak jujur. Betapa banyak pemimpin yang menyesal karena salah menilai bawahannya. Bahkan, tak jarang, hubungan bisnis hancur hanya karena satu pihak mengkhianati kepercayaan.

Lalu, bagaimana Islam mengajarkan kita untuk memilih pekerja yang ideal? Apakah hanya sekadar melihat keterampilan atau pengalaman saja?

Al-Qur’an memberikan jawaban yang indah dan hikmah. Ketika Nabi Musa ‘alaihissalam menolong dua wanita di negeri Madyan untuk mengambilkan air, salah satu dari mereka berkata kepada ayahnya,

يَٰٓأَبَتِ ٱسْتَـْٔجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ ٱسْتَـْٔجَرْتَ ٱلْقَوِىُّ ٱلْأَمِينُ

“Wahai bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling pantas yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi terpercaya (amanah).” (QS. Al-Qashash: 26)

Dari ayat ini, dapat kita ketahui bahwa ada dua kriteria utama pekerja ideal menurut syariat:

Pertama, al-qawiy (kuat)

Kuat yang dimaksud di sini bukan sekadar kekuatan otot, tapi lebih luas: kuat dalam bidang pekerjaannya. Kuat secara teknis, kuat dalam keterampilan, kuat dalam menghadapi tekanan, dan kuat dalam mengambil keputusan.

Kekuatan dalam setiap pekerjaan itu berbeda-beda tergantung jenis dan macam pekerjaannya. Misalnya, antara kekuasaan eksekutif atau militer (seperti panglima perang) dan kekuasaan yudikatif (seperti hakim), tentu berbeda aspek “kuatnya”.

Untuk panglima perang, kekuatan yang dibutuhkan adalah fisik, siasat, strategi dan teknik berperang; sedangkan hakim kekuatannya dilihat dari keilmuan dan pengetahuan tentang hukum-hukum atau dalil-dalil beserta aplikasinya dalam kasus yang dihadapi. (Lihat Majmu’ al-Fatawa, 28: 276 dan Majmu’ al-Fatawa, 28: 365)

Kedua, al-amin (amanah)

Amanah adalah sifat yang mengikat antara hati, ucapan, dan perbuatan. Orang yang amanah tidak hanya jujur, tapi juga bertanggung jawab, bisa dipercaya, dan menjaga rahasia. Ia akan menjaga pekerjaan sebaik mungkin, bukan karena diawasi atasannya, tetapi karena merasa diawasi oleh Allah Ta’ala. Ia tidak mengkhianati tanggung jawab yang telah diamanahkan kepadanya.

Antara kuat dan amanah, mana yang lebih penting?

Kalau ditanya mana yang lebih penting, jawabannya bergantung pada konteks dan jenis pekerjaan yang akan dijalani.

Imam Ahmad pernah ditanya tentang siapa yang boleh dijadikan pemimpin perang atau panglima, apakah yang fisiknya kuat tapi kurang saleh (amanah) atau yang saleh tapi fisiknya lemah?

Imam Ahmad rahimahullah menjawab,

أما الفاجر القوي فقوله للمسلمين وفجوره على نفسه ; وأما الصالح الضعيف فصلاحه لنفسه وضعفه على المسلمين

“Adapun yang pertama (kuat fisiknya tapi kurang saleh), kekuatan fisiknya bermanfaat bagi kaum muslimin secara umum. Adapun kekurang salehannya, merugikan dirinya sendiri. Adapun orang kedua (saleh tapi lemah fisiknya), kesalehannya hanya untuk dirinya sendiri, sedangkan kelemahan fisiknya merugikan kaum muslimin (orang banyak).” (Lihat Majmu’ al-Fatawa, 28: 255-256)

Tentu saja, situasi ini akan berbeda jika pekerjaan yang dimaksud berkaitan dengan keuangan atau posisi yang menuntut kejujuran dan tanggung jawab penuh, seperti bendahara di suatu tempat. Dalam pekerjaan seperti ini, amanah dan kejujuran menjadi prioritas utama. Karena bila hilang, maka kerusakan yang ditimbulkan akan sangat besar, baik bagi individu maupun masyarakat luas.

Keduanya, kuat dan amanah, memiliki tempatnya masing-masing; dan yang paling sempurna adalah jika keduanya ada dan saling melengkapi.

Sebuah renungan

Dalam dunia kerja hari ini, banyak yang mengutamakan CV yang menarik, portofolio yang cemerlang, atau kata-kata manis dalam wawancara. Tapi Islam mengajarkan untuk melihat lebih dalam: apakah ia kuat dan amanah? Karena pada akhirnya, kemajuan dan keberkahan dalam usaha tidak hanya ditentukan oleh apa yang tampak di atas kertas, tapi oleh siapa yang kita percayai untuk berjalan bersama kita.

Semoga kita menjadi pribadi yang kuat dan amanah, dan mampu memilih rekan kerja atau karyawan yang juga memiliki dua sifat mulia ini. Aamiin.

Baca juga: Jangan Jadikan Pekerjaanmu Hanya sebagai Rutinitas Harian Semata

***

Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya

Artikel Muslim.or.id

 

Referensi:

Qawaa’id Qur’aaniyyah, karya Syekh Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil.


Artikel asli: https://muslim.or.id/108458-kriteria-pekerja-ideal-menurut-syariat.html